SEJARAH ASIA
BARAT DAYA
“PERADABAN
DAN KEBUDAYAAN ACHAEMINIYAH”
OLEH :
KELOMPOK VI
MU’ARIF NUR
RIZQI : A1A2 11 004
LA ODE AHMAD
RIFAI : A1A2
11 081
AMAN MAKRUF : A1A2 11 083
JUMARDI : A1A2 11 086
MUH. ARIF : A1A2 11 087
ANDI AKMAL : A1A2 11 088
SYAHRUDIN : A1A2 11 090
HASRI : A1A2 11 091
SUSANTI : A1A2 11 092
SITTI MINARSI A. : A1A2
11 094
IAN MARTA F. : A1A2 11 0
PROGRAM
STUDI PEND. SEJARAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2013
KATA PENGATAR
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Puji syukur penulis
panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena hanya dengan RahmatNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul
“Kebudayaan dan peradaban Achaeminiyah”
Penulis
menyadari bahwa penulisan makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan
guna melengkapi atau memperbaiki makalah ini selanjutnya.
Dan
penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
serta pembaca pada umumnya.
Wassalamu`alaikum
Wr. Wb
DAFTAR ISI
Halaman
Sampul …………………………………..…………………………..… i
Kata
Pengatar ………………………………………………………………......... ii
Daftar
Isi ……………………………………………………………………….... iii
BAB I Pendahuluan
A.
Latar Belakang……............……………………………………………………... 1
B.
Rumusan Masalah…………............…………………………………………….. 1
C.
Tujuan……………………………….............………………………………........ 1
BAB II Pembahasan
A. Peradaban
Kerajaan Achaeminiyah
1. Cambyses
……………………….…………………………………... 2
2. Darius
I ………………………….………………………………….. 3
3. Xerxes
I ………………………….…………………………………. 4
4. Artaxerxes
I sampai Darius ……….………………………………... 5
B. Kebudayaan
Kerajaan Achaeminiyah
a.
Segi
Bahasa ……………………. ………………………………...... 8
b.
Segi
Organisasi Sosial……...……………………………………...... 9
c.
Segi Agama
………………………………………………………… 9
d.
Segi Seni …………………………………………………………....
11
BAB III Penutup
A.
Kesimpulan……………………………………...........………………………… 13
Daftar Pustaka …………………………………………………………….........
14
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah
kawasan Asia Barat Daya ditujukan kepada negara-negara yang secara geografis
terletak di jazirah Arab. Istilah tersebut sebenarnya hanya cocok bila
digunakan dari kawasan Asia Tenggara, oleh karena itu bangsa Eropa biasa
menyebut kawasan ini sebagai Timur Tengah (The Middle East) karena letaknya
disebelah Timur Eropa yang lebih jauh dari Turki atau Timur Dekat (The Near
East) dan lebih dekat dari Cina atau Timur Jauh (The Far East). Adapun
Negara-negara yang termasuk dikawasan ini meliputi Negara-negara yang mayoritas
berkebudayaan Arab dan atau para penghuni gurun pasir, diantaranya : Saudia
Arabia, Yordania (Jordan), Israel, Palestina, Lebanon, Syria (Suriah), Egypt
(Mesir), Cyprus (Siprus), Turkey (Turki), Iraq (Irak), Kwait, Bahrain, Oman,
Qatar, Uni Emirat Arab (Arab Emirates Union), Yemen (Yaman), dan Iran.
Kerajaan Achaeminiyah
merupakan kerajaan yang memiliki keunikan yang kemudian menjadikannya susah
untuk dibedakan kebudayaanya dengan kebudayaan Persia pada umumnya. Kerajaan
Achaeminiyah menggabungkan kebudayaan mereka dari berbagai daerah yang menjadi
kekuasaan kerajaan untuk menciptakan kebudayaan baru yang sangat luar biasa.
B.
Rumusan
Masalah
a. Bagaimana
peradaban kerajaan Achaeminiyah
?
b. Bagaimana kebudayaan kerajaan
Achaeminiyah ?
C. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan
dari penulisan Makalah ini yaitu :
1.
Tujuan
Umum
Menjadi bahan untuk melatih dan
meningkatkan daya pikir dalam penulisan karya ilmiah.
2.
Tujuan
Khusus
a.
Memberikan
gambaran tentang peradaban dan kebudayaan Achaeminiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peradaban Kerajaan Achaeminiyah
1. Cambyses
Pada
saat kematian Cyrus II the Great, kerajaan dilimpahkan kepada anaknya, Cambyses
II (memerintah tahun 529-522 SM). Telah terjadi beberapa kerusuhan dalam
pemerintahan pada saat kematian Cyrus II. Cambyes II secara diam-diam telah
membunuh saudaranya, Bardiya (Smerdis), untuk mempertahankan kedudukannya,
sementara ia sedang memimpin penyerangan ke Mesir pada tahun 525 SM. Parao
Ahmose II dari dinasti ke-26 berusaha menopang pertahanannya dengan menyewa
tentara bayaran dari Yunani tetapi dikhianati. Cambyses II berhasil
menyeberangi kerasnya Gurun Sinai, yang secara tradisional merupakan garis
pertahanan Mesir pertama dan paling kuat. Pasukan Mesir berada di bawah komando
Psamtik III, anak dan pengganti Ahmose II, untuk melakukan pertempuran di
Pelusium. Tiga operasi penyerangan telah dilakukan oleh Cambyses II, tetapi
semuanya dilaporkan mengalami kegagalan: satu pasukan menyerang Carthage, para
pelaut Phoenicia, yang merupakan tulang punggung angkatan laut Persia, menolak
untuk berlayar melawan koloni mereka sendiri; satu pasukan menyerang oasis Amon
(padang pasir di sebelah barat Sungai Nil), yang menurut Herodotus, telah
dikalahkan oleh badai pasir yang dahsyat; dan satu pasukan dipimpin oleh
Cambyses II sendiri menyerang Nubia. Usaha yang terakhir ini memperoleh
keberhasilan, tetapi pasukan tersebut telah mengalami penderitaan karena
kurangnya persediaan. Setelah peristiwa itu, Mesir menempatkan pasukannya di
tiga tempat yang strategis: Daphnane di bagian timur delta, Memphis, dan
Elephantin. Di tempat-tempat tersebut tentara bayaran yang berasal dari
orang-orang Yahudi menjadi pasukan inti. Pada tahun 522 SM, Cambyses memperoleh
berita tentang pemberontakan di Iran yang dipimpin oleh Bardiya, saudara
laki-lakinya. Beberapa provinsi dari kerajaan tersebut mengakui keberadaan
penguasa baru. Bardiya telah menjanjikan kepada mereka yang mengakui
kedudukannya dengan pembebasan pajak selama tiga tahun. Cambyes meninggal
kemungkinan disebabkan infeksi menyusul kecelakaan berupa goresan pedang yang
menimpa dirinya karena ingin cepat-cepat kembali ke istananya di Persia untuk
membenahi pemerintahannya. Darius, seorang jenderal dalam pasukan Cambyses dan
salah seorang pangeran dari keluarga Achaeminiyah, telah sampai di Persia, ia
pun dengan pasukannya segera menumpas para pemberontak, yang kemudian membawa
keberuntungan pada dirinya. Dalam sumber-sumber yang ada, keadaan Cambyses
kurang menguntungkan, sebagian berasal dari para informan Mesir kepada
Herodotus dan sebagian lagi karena motif-motif para propaganda Darius I.
Cambyses dilaporkan telah memerintah Mesir dengan kasar dan telah menodai
upacara dan tempat suci mereka. Penyerangan militernya keluar Mesir dilaporkan
mengalami kegagalan. Ia dituduh telah melakukan pembunuhan dalam menghadapi
pemberontakan yang terjadi dalam lingkungan keluarganya. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa dia telah gila.
2.
Darius
I
Darius
I, dipanggil the Great, menceritakan secara rinci tentang penggulingan Bardiya
palsu dan tahun-tahun pertama kekuasannya, dalam inskripsi kerajaannya yang
terkenal, yang tertulis pada permukaan batu yang terdapat di kaki Bukit
Bisotun, beberapa mil sebelah timur kota Kermanshah sekarang. Sejumlah ahli
sejarah menilai bahwa cerita Darius lebih merupakan sebuah propaganda dan
membantah bahwa Bardiya bukanlah seorang penipu. Menurut Darius I, enam
pemimpin bangsawan Achaeminiyah telah membantu melakukan pembunuhan terhadap
sang penipu dan secara bersama-sama mereka menyatakan Darius sebagai pewaris
Cambyses yang sah. Darius adalah salah seorang dari anggota keluarga kerajaan
Achaeminiyah. Buyutnya adalah Ariaramnes, anak Teispes, yang berkuasa di Persia
bersama-sama dengan saudaranya Cyrus I. Anak Ariaramnes, Arsames, dan cucu
laki-lakinya, Hystaspes (ayah Darius I), tidak menjadi raja di Persia, karena
kekuasaan kerajaan disatukan ditempatkan di tangan Cambyses I melalui Cyaxares.
Akan tetapi Hystaspes merupakan seorang pangeran yang penting dan menjadi
gubernur Persis. Darius sendiri mewarisi sifat-sifat Cyrus the Great, seorang
penguasa yang memiliki kepribadian yang kuat dan dinamis. Antara tahun 522-521
SM telah dilakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk memadamkan pemberontakan
yang dikaitkan dengan klaim Bardiya bahwa dialah yang berhak naik taha dan
menggantikan Darius. Hampir semua provinsi dalam kerajaan terlibat konflik,
termasuk Persia, terutama sekali, Media. Kebijakan yang dikeluarkan ketika itu
adalah memberikan pengampunan atau hukuman kepada setiap pemimpin pemberontak,
disertai dengan dilakukannya koordinasi dan pembagian kekuasaan. Melalui kebijakan
itu, terciptalah suasana yang damai dalam kerajaan, dan kekuasaan Darius I
tidak dipersoalkan lagi. Selanjutnya, ia mencurahkan perhati- annya untuk
mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan keturunannya. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukannya, bagaimanapun juga tidak menghalangi usaha Darius untuk
menjalankan kebijakan ekspansionis. Penyerangan ke wilayah timur diteruskan
lagi sehingga wilayahnya semakin bertambah sampai ke bagian utara anak benua
India. Ekspansi ke wilayah barat dimulai pada tahun 516 SM dengan menyerang
Hellepont, dan berhasil menguasai pantai barat dan utara Laut Hitam. Tujuan
strategis dibalik penyerangan ini adalah untuk mengganggu dan apabila mungkin
adalah untuk menghentkan perdagangan bangsa Yunani di wilayah Laut Hitam, yaitu
mensuplai biji padi-padian ke Yunani. Darius I untuk pertama kali melakukan
penyerangan ke Eropa dan berhasil mencapai wilayah bagian utara Sungai Danube.
Ia kemudian mendirikan pangkalan yang dapat menyeberang ke Hellespont. Sebagai
respon terhadap kemajuan tersebut atau tepatnya karena alasan-alasan internal,
kota-kota Yunani Ionia di pantai barat Asia Kecil melakukan perlawanan terhadap
penguasa Persia pada tahu 500 SM. Persia terkejut dengan respon tersebut, dan
perlawanan pertama ini ternyata berhasil. Orang-orang Ionia mendapatkan bantuan
dari orang-orang Athena dan pada tahun 498 mereka melakukan serangan ofensif
yang lain. Di satu sisi Darius berusaha melakukan negosiasi, sementara di sisi
yang lain ia telah melakukan persiapan untuk melakukan serangan balik. Akan
tetapi, usaha- usaha yang dilakukan militer Persia hanya berhasil sebagian, dan
orang-orang Ionia bisa beristirahat sementara antara tahun 496-495 SM. Serangan
ofensif yang berhasil dilakukan militer Persi terjadi pada tahun 494 SM. Armada
Yunani berhasil menghalau Miletus, dan pasukan Persia secara sistematis mulai
berkurang karena terjadinya pemberontakan kota-kota. Kira-kira pada tahun 492
Mardonius, menantu laki-laki Darius, menjadi komisaris khusus untuk kota Ionia.
Ia menekan para tiran lokal dan mengembalikan pemerintahan yang demokratis
kepada beberapa kota. Pada masa itu luka-luka yang disebabkan karena
pemberontakan telah dapat diperbaiki, dan sejak tahun 481 Xerxes dapat menarik
pasukannya dari wilayah ini. Pada tahun
492 SM Mardonius juga berhasil menguasai Thrace dan Macedonia, keberhasilan
pertama dalam penyerangan terhadap orang-orang Scythia dan wilayah-wilayah yang
hilang selama pemberontakan orang-orang Ionia. Keberhasilan tersebut mengiringi
invasi Persia ke Yunani yang telah menyebabkan kekalahan Darius dalam
Peperangan Marathon pada akhir musim semi tahun 490 SM. Darius terpaksa mendur
dan untuk menghadapi Yunani tampaknya diperlukan usaha- usaha yang lebih
konsentrasi dan menyeluruh. Ia mulai melakukan usaha persiapan untuk menalukan
invasi ke Yunani dalam skala yang besar dan terkoordinasi. Tetapi rencana
tersebut terhenti pada tahun 486 SM disebabkan dua peristiwa, yaitu terjadinya
pemberontakan di Mesir, dan kematian Darius.
3. Xerxes I
Xerxes
I (memerintah tahun 486 465 SM), adalah anak laki-laki tertua Darius dengan
Ratu Atossa, dilahirkan setelah ayahnya naik tahta. Ia telah ditunjuk sebagai
putera mahkota pada awal tahun 498 SM. Selama menjadi putera mahkota, ia
menjabat sebagai gubernur di Babilonia. Raja baru ini dengan cepat berusaha
memadamkan pemberontakan di Mesir dengan penyerangan tunggal yang dilakukan
pada tahun 484 SM. Xerxes tidak mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh Cyrus
dan Darius dalam memerintah wilayah-wilayah asing secara baik dengan mengambil
sikap yang sesuai dengan tradisi lokal. Ia dengan kejam tidak mengindahkan
bentuk-bentuk pemerintahan orang Mesir dan memaksakan keinginannya kepada para
pemberontak dalam gaya Persia. Rencana untuk melakukan invasi ke Mesir yang
sudah dimulai pada masa Darius semakin tertunda dengan adanya pemberontakan di
Babilonia pada tahun 482 SM. Xerxes kembali memberikan perhatiannya ke arah
barat, yaitu ke Yunani. Ia menghabiskan musim dingin di Sardis pada tahun
48-480 SM dan memimpin penyerangan baik melalui daratan maupun lautan ke
Yunani. Yunani bagian utara jatuh pada tahun 480 SM, Yunani pada bulan Agustus
tahun 480 SM bertahan di Thermopylae, dan pasukan Persian menyerbu Athena,
menguasai dan membakar kota Acropolis. Tetapi di Peperangan Salamis pasukan
Persia mengalami kemunduran, sehingga daya dorong untuk melakukan invasi
menjadi mandul. Xerxes, sebagai seorang raja yang cukup lama jauh dari Asia
dengan tanggung jawabnya yang luas bermaksud kembali, dan membiarkan Mardonius
untuk melakukan operasi lebih jauh. Invasi berakhir dengan terjadinya Perang
Plataea, dengan jatuhnya Thebes (yang merupakan benteng kekuatan pro-Persia),
dan kekalahan angkatan laut Persia di Mycale pada tahun 479 SM. Dari ketiga hal di atas, kekalahan Persia
dalam Perang Plataea adalah yang paling menentukan, karena pada perang itulah
Mardonius terbunuh. Isu yang beredar dalam perang tersebut mungkin masih
meragukan, tetapi kurangnya kepemimpinan, organisasi yang kacau dan kurangnya
kedisiplinan, menyebabkan pasukan Persia mengalami kehancuran. Pada waktu-waktu
yang kemudian hal seperti ini tampaknya telah menjadi pola, karena Persia tidak
pernah bisa mengatasi problem militernya. Pembentukan Liga Delia, yang menandai
kebangkitan imperialisme Athena, telah menimbulkan kekacauan di pantai barat Asia
Kecil, sekaligus mengakhiri ambisi militer Persia di Aegean mengiringi
peristiwa yang terjadi di Plataea. Xerxes telah kehilangan semangatnya dan
tenggelam dalam kesenangan hidup di Susa, Ecbatana, dan Persepolis. Tipu daya
para harem atau selir-selir raja yang terus menerus melemahkan kekuatan dan
vitalitas kerajaan Achaeminiyah menyebabkan terjadinya pembunuhan atas raja
pada tahun 465 SM.
4.
Artaxerxes
I sampai Darius
Kematian
Xerxes I merupakan titik balik dalam sejarah Achaeminiyah. Kekuatan dan kecakapan
yang sesekali muncul pada para pengganti Xerxes tidak mampu menghindari
kehancuran dan kerajaan tersebut secara perlahan menuju pada kematiannya.
Usaha-usaha keras yang dilakukan para raja setelah kematian Xerxes adalah
sebagai bentuk penghormatan kepada Cyrus, Cambyses, dan Darius yang telah
membangun kerajaan. Ada tiga orang raja
yang bertahta setelah kematian Xerxes, yaitu Artaxerxes (memerintah 465-425
SM), Xerxes II (memerintah 425-424 SM), dan Darius II Ochus (memerintah 423-404
SM). Masing-masing dari ketiganya memiliki kele- mahan dalam kedudukannya
sebagai individu maupun sebagai raja. Keberhasilan
yang
diperoleh selama masa pemerintahan mereka terutama sekali disebabkan oleh
kelemahan atau kekacauan-kekacauan yang dihadapi oleh musuh-musuh mereka. Artaxerxes I menghadapi beberapa kali
pemberontakan, yang paling penting di antaranya adalah pemberontakan Mesir yang
terjadi pada tahun 459 SM. Sampai tahun 454, ia tidak berhasil sepenuhnya untuk
menumpas pemberontakan itu. Suatu perjanjian damai yang menguntungkan, yaitu
perjanjian damai Callia (Peace of Callia) debfab Athena di tandatangani
pada tahun 448 SM. Dalam perjanjian itu Persia menyetujui untuk kelur dari
Aegea, dan Athena menyetujui untuk menyerahkan Asia Kecil kepada kerajaan
Achaeminiyah. Pada tahun 439 SM, Athena melanggar perjanjian dengan melakukan
serangan ke Samos. Akibatnya, Persia kemabali mengerahkan pasukan militernya ke
barat. Xerxes II hanya memerintah selama
45 hari. Ia dibunuh ketika sedang dalam keadaan pingsan setelah minum-minuman
keras oleh anak dari salah seorang gundik ayahnya. Pembunuh itu sendiri
kemudian dibunuh oleh Darius II. Darius II selanjutnya naik sebagai
penggantinya setelah terjadi intrik-intrik dalam istana. Pada masa
perintahannya terjadi sejumlah pemberontakan, di antaranya adalah yang terjadi
di Media. Peristiwa penting yang terjadi selama masa tiga pemerintahan di atas
adalah meletusnya Perang Peloponnesia antara Sparta dan Athena. Keadaan
tersebut telah dimanfaatkan dengan baik oleh para pemanah Persia terkenal.
Koin-koin emas dinasti Achaeminiyah melukiskan bagaimana para pemanah itu
melakukan pengintaian, dan telah memanfaatkan informasi yang mereka peroleh
untuk membujuk ke dua negara Yunani tersebut. Pada mulanya orang-orang Persia
mendorong orang-orang Athena untuk menyerang Sparta, dari usahanya ini
disepakatilah perjanjian damai Callia. Kemudian, setelah terjadi melapetaka
penyerangan Athena ke Sicilia pada tahun 413 SM, orang-orang Persia kini
mendekati pihak Sparta. Dengan disepakatinya perjanjian Miletus pada tahun 412
SM, orang-orang Persia secara leluasa berhasil menguasai wilayah bagian barat
Asia Kecil. Pasukan sparta akhirnya berhasil menghancurkan Athena pada tahun
404 SM. Selain fakta bahwa orang-orang
Persia telah memainkan dua sisi perlawanan terhadap masing-masing pihak,
merekapun telah berkerja secara lebih baik.
Dua
orang gubernur Persia di Asia Kecil terlibat di dalam tipu muslihat di atas,
Tissaphernes dari Sardis dan Phanabazus dari Hellespontine Prygia. Kedua orang
ini tampaknya telah memperoleh izin untuk melakukan intervensi ke dalam perang
Yunani. Tetapi ketika Mesir melakukan pemberontakan pada tahun 405 SM, Persia
tidak dapat berbuat banyak, dan sejak itu Mesir menjadi negara yang merdeka.
Artaxerxes II naik tahta pada tahun 404 SM dan memerintah sampai tahun 359 SM.
Peristiwa penting yang terjadi pada masa kekuasaannya yang panjang adalah
peperangan dengan Sparta, yang berakhir dengan ditandatanginya perjanjian yang
menguntungkan pihak Persia. Selain itu adalah pemberontakan yang terjadi di
Mesir; pemberontakan Cyrus the Younger, saudara sang raja; dan pemberontakan
yang dikenal dengan sebutan pemberontakan satrap (gubernur). Sparta,
setelah kemenangannya atas Athena, membangun kerajaan kecil atas namanya
sendiri dan segera terlibat peperangan dengan Persia. Persoalan utamanya adalah
berkaitan dengan negara-negara kota Yunani di Asia Kecil. Ketika Sparta
memprovokasi gubernur Persia di Anatolia untuk menyerang yang lainnya, orang-
orang Persia mengirimkan emas ke Yunani dan membujuk mereka untuk melakukan
pemberontakan kepada Sparta. Orang-orang Persia membangun kembali pasukannya
dan menempatkan seorang adminral Athena yang cakap dan tangkas, Conon, sebagai
komandannya. Pertunjukan itu berlangsung
dari tahun 400 sampai 387 SM, dan memaksa Sparta untuk terus bergerak maju.
Athena yang sudah melakukan perbaikan, dengan dibantu oleh Persia, berhasil
membangun kekuasaan yang seimbang di Yunani. Akhirnya Artaxerxes bisa maju
setapak demi setapak dalam usahanya untuk menaklukkan Yunani dan memaksakan apa
yang disebutnya Perdamaian Raja (King's Peace) antara tahun 387-386 SM.
Sekali lagi Yunani terpaksa harus menghentikan klaimnya atas Asia Kecil dan
sepakat untuk mempertahankan status quonya di Yunani saja. Cyrus the Younger,
yang tertangkap dalam kasus usaha pembunuhan pada saat penobatan Artaxerxes,
tetapi kemudian diberi pengampunan, menjadi komandan di salah satu propvinsi di
Asia Kecil. Pada tahun 401 SM, ia melakukan pemberontakan lagi, dan dengan
didukung oleh 10.000 tentara bayaran dari Yunani, mengerahkan pasukanya ke
timur untuk merebut tahta kerajaan. Ia dapat dikalahkan dan terbunuh dalam
Perang Cunaxa yang terjadi pada musim panas di Mesopotamia. Meskipun mengalami
kekalahan, tentara bayaran yang berasal dari Yunani tidak serta merta bubar.
Mereka tetap bersatu dan kemudian melakukan perjalanan yang terkenal, tercatat
dalam Anabasis dari Xenophon, yaitu menuju arah utara dan menjadikan
Laut Hitam sebagai tempat tinggalnya. Tampaknya tidak ada peristiwa lain pada
akhir sejarah dinasti Achaeminiyah selain terjadinya kelemahan-kelemahan internal
yang melanda kerajaan ini. Pada tahun 379 SM Artaxerxes mengumpulkan tentara
bayaran dari Yunani untuk melakukan serangan ke Mesir. Serangan yang dilakukan
terhadap dinasti ke-30 Mesir pada tahun 373 SM itu ternyata mengalami
kegagalan. Dalam suasana galau karena kegagalan serangan ke Mesir, tiba-tiba
muncul pemberontakan satrap, atau pemberontakan yang dilakukan oleh para
gubernur provinsi. Sejumlah gubernur bangkit untuk melakukan perlawana terhadap
pemerintah pusat. Aroandas (Orantes), gubernur Armenia, bahkan berani mencetak
koin emas atas namanya sendiri sebagai bentuk tantangan terhadap raja
Artaxerxes. Rencana umum dari para
pemberontak tampaknya adalah melakukan serangan secara serentak. Pemberontakan
para satrap (gubernur), yang dipimpin raja Tachos dengan didukung oleh
tentara bayaran dari Yunani, mengerahkan pasukan ke arah timur melalui Syria
dengan Mesir sebagai targetnya. Serangan ke Mesir dibatalkan karena pemimpin
pemberontakan di Mesir adalah saudara Tachos. Artaxerxes berusaha keras untuk
menenangkan para satrap yang meninggalkan dirinya. Sejumlah satrap, termasuk
Arondas, memperoleh pengampunan dan kembali menemati posnya sebagai
gunernur. Kesan umum yang bisa ditangkap
dari pemberontakan itu lebih dari sekedar melawan otoritas pusat, tetapi para
satrap ingin kembali ke provinsi masing-masing dan merampasnya atas nama
Artaxerxes. Menurut para satrap bahwa mereka secara aktual memiliki otoritas
dan kontrol yang lebih besar atas peristiwa yang terjadi di wilayah
masing-masing dibanding Artaxerxes yang menguasai kerajannya. Persekongkolan
lawan persekongkolan, intrik yang terjadi di antara para gundik raja, dan
pembunuhan, telah mengantarkan Artaxerxes III naik tahta pada tahun 395 SM. Ia
dengan cepat melakukan pembersihan terhadap semua anggota keluarga kerajaan
yang diperkirakan menjadi penghalang atas kekuasaannya. Usaha baru yang
dilakukan untuk menguasai Mesir dipukul mundur pada tahun 351 SM. Kemunduran
ini terjadi kerena meletusnya pemberontakan di Sidon dan akhirnya semua wilayah
Palestina dan Phoenisia.
Sebagian
wilayah Cilicia juga melakukan pemberontakan, tetapi pemberon- takan tersebut
dapat dihentikan pada tahun 345 SM. Suasana damai pun hanya berlangsung
sebentar-sebentar. Tentara bayaran dari
Thebe, Argiv, demikian juga dari kota-kota Yunani di Asia Kecil, secara
bersama-sama dikerahkan untuk menyerang Mesir. Serangan yang dilakukan pada
tahun 343 SM dengan dipimpin langsung oleh Artaxerxes ternyata berhasil dengan
sukses. Tetapi, dinasti lokal Mesir tersebut berhasil melarikan diri ke
selatan, yaitu ke Nubia. Di tempat yang baru tersebut mereka mempertahankan
pemerintahan yang merdeka. Pada saat bersamaan, Persia merasa salah karena
menolak permintaan untuk membantu Athena dalam menghadapi kebangkitan kekuasaan
Philip II dari Macedonia. Pada tahun 339 SM, pasukan Persia harus menghadapi
tentara Macedonia di Thrace sendirian. Pada tahun-tahun berikutnya, dalam
peperangan di Chaeronea, Philip II berhasil memperluas hegemoninya di semua
wilayah Yunani. Ia pun berhasil menyatukan Yunani yang tahan terhadap emas
Persia. Artaxerxes diracun oleh dokternya di tempat orang kasim Bagoas. Bagoas
mengangkat anak Artaxerxes yang paling muda, Arses, sebagai raja (338-336 SM)
dengan harapan dapat menjadi penguasa di belakang layar, tetapi Arses tidak
dapat mengabulkan keingian Bagoas dengan mudah. Ia berusaha meracun Bagoas,
tetapi yang terjadi sebaliknya, ia terbunuh dalam suatu tindakan balas dendam.
Bagoas kemudian merekayasa pengangkatan Darius III sebagai pengganti Arses,
yang menjadi gubernur di Armenia. Banyak di antara anggota keluarga istana yang
terbunuh dalam intrik tersebut. Darius
III berhasil memadamkan pemberontakan yang dilakukan Khababash pada tahun
337-336 di Mesir. Tetapi awal dari ambang kehancuran dinasti Achaemi- niyah
sudah tampak ketika pada tahun 334 SM mengalami kekalahan dalam Perang Granicus
dengan Alexander the Great. Persepolis jatuh ke tangan Alexander pada bulan
April 330 SM, dan Darius III yang merupakan keturunan Achaeminiyah terakhir
terbunuh pada musim panas di tahun yang sama.
Kemenangan yang diraih oleh Alexander tidaklah diperoleh dengan cara
mudah. Kekacauan yang terjadi menjelang kehancuran dinasti Achaeminiyah,
seperti pemberontakan, pembunuhan, kelemahan para raja yang berada dalam
perangkap para gundiknya, permainan untung-untungan, dan kebijakan-kebijakan
yang keliru, tidak dapat diceritakan seluruhnya. Sumber-sumber, terutama
Yunani, sering memojokan Persia dan cenderung melihat peristiwa-peristiwa yang
terjadi hanya dari satu sudut pandang saja.
B.
Kebudayaan
Kerajaan Achaeminiyah
Kebudayaan yang
berkembang di bawah dinasti Achaeminiyah dalam realitasnya merupakan masyarakat
dan kebudayaan kolektif dari berbagai penduduk yang ada di wilayah kerajaan.
Dari mosaik seperti itu kadang-kadang sulit untuk memisah- misahkan mana yang
merupakan Persia atau merupakan perkembangan dari periode Achaeminiyah, dan
oleh karena itu merupakan sumbangan bangsa Iran awal terhadap masyarakat dan
kebudayaan Timur Tengah secara umum. Berikut akan dijelaskan berbagai kebudayaan
Achaeminiyah dari berbagai aspek kehidupan, baik dalam segi bahasa, organisasi
social, agama, dan seni.
a. Segi Bahasa
Bahasa
yang terdapat dan dipakai di wilayah kerajaan tentu saja mengikuti
keanekaragaman penduduknya. Orang-orang Persia, sejak semula menggunakan bahasa
Persia Kuno, dialek orang Iran barat daya
(bahasa Median merupakan dialek Iran barat daya), dan merupakan masyarakat yang
masih buta huruf. Bahasa mereka pertama kali ditulis ketika Darius
memerintahkan adanya suatu skrip yang sesuai untuk mencatat bahwa ia mulai
berkuasa di Bisotum.
Adanya
fakta bahwa hanya sedikit orang saja yang bisa membaca ketika itu menjadi
alasan mengapa Darius di Bisotum meminta agar prasasti-prasasti kerajaan
ditulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Persia Kuno, Babilonia, dan Elam. Bahasa Persia Kuno tidak pernah dijadikan
bahasa tulis kerajaan. Bahasa Elam, yang ditulis di lembaran yang berbahan
tanah liat, tampaknya telah menjadi bahasa para pemimpin Persia. Arsip-arsip
yang berkaitan dokumen administratif dalam bahasa Elam ditemukan di Persepolis.
Selain itu, bahasa Elam juga merupakan bahasa kerajaan dan bahasa yang paling
banyak dipakai dalam birokrasi kerajaan. Awal dari pengaruh bahasa Elam di
Persia sudah dapat dilihat dalam prasasti kerajaan Persia Kuno pada akhir
dinasti Achaeminiyah.
b. Segi Organisasi
Sosial
Tidak
banyak diketahui mengenai organisasi sosial yang berkembang pada periode
Achaeminiyah. Secara umum, organisasi sosial ketika didasarkan pada cara-cara
feudal, baik yang berkaitan dengan fungsi-fungsi ekonomi maupun sosial.
Masyarakat tradisional Indo-Iran terbagi ke dalam tiga kelas: ksatria atau
aristokrat, pendeta, dan petani atau penggembala. Persilangan pembagian ini
merupakan struktur kesukuan yang didasarkan pada keturunan patrilineal. Gelar
raja-raja, yang dipakai oleh para shah Iran pada abad ke-20, menggambarkan
adanya otoritas kekuasaan yang terpusat. Struktur piramid ini memperlihatkan
adanya otoritas tertinggi yang bersifat individual yang dimiliki seorang raja.
Secara
tradisional, raja dipilih dari keluarga tertentu oleh kelas ksatria. Ia
kemudian disucikan dan melekat padanya kharisma kerajaan. Pengorganisasian dan
pengawasan masyarakat tentu saja dapat berubah sesuai dengan tuntutan para
penguasa dan mengalami banyak modifikasi karena meningkatnya kehidupan sosial
dan pemikiran politik penduduknya. Meskipun demikian, bahkan pada masa-masa
yang lebih kemudian, terdapat bukti-bukti bahwa konsep asli bangsa Iran yang
terkait dengan keluarga dan organisasi sosial masih menghargai dan
mempertahankan ideal-ideal kebudyaan Persia.
c. Segi Agama
Agama
bangsa Iran pada priode pra-Achaeminiyah dan Achaeminiyah merupakan sedikit
persoalan yang disepakati para sarjana. Ketika bangsa Iran pertama kali
memasuki periode protosejarah, agama mereka bercorak politeistik yang
mempercayai dan mempraktikkan corak keagamaan yang sama dengan
kelompok-kelompok Indo-Iran dan Indo-Eropa. Para Dewa biasanya diasosiasikan
dengan fenomena alam, dengan fungsi-fungsi sosial, militer, ekonomi, dan dengan
konsep-konsep abstrak seperti keadilan dan kebenaran. Praktik-praktik
keagamaannya meliputi pengorbanan hewan korban, penyembahan pada api, dan
meminum juce tanaman haoma, sejenis minuman keras alami. Baru kira-kira pada
tahun 600 SM, di bagian timur laut dataran tinggi Iran, muncul seorang nabi
atau guru agama yang bernama Zoroaster (Zaathushtra).
Agama
Zoroaster yang ia kembangkan lebih rumit dan kontroversial dibandingkan agama
yang sudah ada sebelumnya. Tetapi ciri-ciri utama agamanya masih tetap ada. Ia
merupakan nabi etik dari ranking tertinggi, yang menekankan perlunya kejujuran,
senantiasa bicara benar, dan meninggalkan kebohongan. Dalam ajarannya, kebohongan sering dipersonifikasikan
dengan Druj, pemimpin kerajaan iblis. Melalui ajarannya, ia menghapus banyak
dewa yang ada pada agama Indo-Iran sebelumnya. Tuhan yang disembah adalah Ahura
Mazda, yang nampaknya merupakan ciptaan, baik nama dan sifat-sifatnya,
Zoroaster.
Meskipun
secara teknis ajarannya bersifat monoteistik, tetapi agama Zoroaster memandang
dunia dalam pengertian dualistik, Ahura Mazda dan "Dusta", yang
secara mendalam terlibat dalam perjuangan jiwa manusia. Zoroasster, seperti
diperkirakan, berusaha untuk memperbaharui praktik-praktik dan kepercayaan
keagamaan bangsa Iran sebelumnya. Ia pertama-tama menolak, tetapi kemudian
ternyata mengizinkan adanya bentuk modifikasi dalam praktik pemujaan haoma,
penyembahan api, dan menolak praktik pengorbanan binatang. Penyembahan terhadap
api merupakan istilah yang salah, karena para pengikut Zoroaster tidak pernah
menyembah api.
Istilah
itu dipakai untuk menghormati api yang merupakan simbol kebenaran utama.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah para penganut Zoroaster dari
dinasti Achaeminiyah atau setidaknya para pengikutnya memahami misi sang nabi?
Kemungkinan Cyrus the Great, Darius I, Xerxes I dan para penggantinya, memahami
ajaran sang nabi. Jawaban sederhana atas pertanyaan itu dapat diketahui karena
Zoroaster sebagai agama telah mengalami perkembangan dan modifikasi seiring
berjalannya waktu, yaitu dipengaruhi oleh kepercayaan dan praktik-praktik,
serta oleh agama-agama penduduk Timur Tengah yang telah melakukan kontak dengan
orang-orang Iran. Tuhan dari raja-raja dinasti Achaeminiyah adalah Ahura Mazda
Yang Agung. Xerxes dan para penggantinya masih menyebut nama dewa-dewa yang
lain, tetapi Ahura Mazda ditempatkan sebagai dewa tertinggi.
Dalam
prasastinya, Darius hanya menyebut tuhan Ahura Mazda. Bukti yang signifikan
adalah terlihat dalam sifat-sifat Darius. Sifat-sifat yang melekat padanya
sangat sesuai dengan sifat moral Zoroaster, dan dalam beberapa contoh, sangat
cocok dengan ajaran teologi Zoroaster. Selama masa pemerintahan Darius dan
Xerxes, catatan-catatan arkeologis yang ditemukan memperlihatkan bahwa
upacara-upacara keagamaan yang dilakukan ketika itu sesuai dengan perkembangan
agama Zoroaster. Upacara haoma dipraktikkan di Persepolis, tetapi
upacara pengorbanan binatang tidak dilakukan. Lebih dari itu, api menempati
peran yang utama dalam agama orang-orang Achaeminiyah.
Selain
kenyataan di atas, ada kemungkinan telah terjadi perselisihan antara Cambyses
dan Darius di satu pihak dengan Bardiya, seorang pendeta bangsa Media, di pihak
lain. Tampaknya terdapat adanya motivasi-motivasi keagamaan dan politik di
balik penindasan Xerxes terhadap dewa (deva/daeva) yang disembah dan
penghancuran tempat peribadatan mereka. Ada kemungkinan telah terjadi konflik
di kalangan anggota keluarga istana, yang menjadi pengikut agama Zoroaster,
para pendukung agama Zoroaster seperti dipraktikkan oleh orang-orang Iran
lainnya, para penganut agama Iran kuno, dan para pengikut agama-agama asing,
yang dalam pandangan ajaran Zoroaster patut dicela. Adanya kompromi dan sinkretisme dengan
demikian merupakan suatu gejala yang tidak dapat dihindari.
Meskipun
kalender Zoroaster diadopsi sebagai kalender resmi kerajaan dalam pemerintahan
Artaxerxes I; sejak masa Artaxerxes II, tuhan orang-orang kuno, yaitu dewa
Mithra dan dewi Anahita (Anahiti) telah ditempatkan di sisi Ahura Mazda. Dengan
demikian, dalam suatu pengertian, raja-raja dinasti Achaeminiyah adalah para
pengikut Zoroaster, tetapi agama Zoroaster itu sendiri tidak lagi merupakan
agama yang harus dilembagakan. Apakah agama yang dianut oleh orang-orang yang
berada di luar lingkaran istana? Satu perkiraan bahwa peribadatan-peribadatan
Iran kuno merupakan agama yang dipraktikkan secara umum. Magi, yang berasal
dari para pendeta bangsa Media, kemungkinan lebih berpengaruh di masyarakat,
demikian juga dengan kepercayaan dan praktik-praktik keagamaan yang berasal
dari luar.
d. Segi Seni
Seni
bangsa Achaeminiyah, seperti halnya agama, merupakan campuran dari banyak
unsur. Untuk memberikan gambaran mengenai konstruksi istananya di Susa, dengan
kebanggan yang dapat dibenarkan Darius mengatakan, kayu cedar (nama pohon
yang ada di pegunungan Libanon) diambil dari sana, kayu yaka diambil dari Gandara dan Carmania, Emas diambil dari Sardis dan Bactria, Batu Permata lapis-lazuli diambil dari
Sogdiana, Batu Pirus diambil dari
Chorasmia, Perak dan Kayu Eboni
diambil dari Mesir, Barang-barang Perhiasan
diambil dari Ionia, Gading diambil
dari Ethiopia, Sind, dan Arashosia, Pemotong
Batu dan Para Penempa batu
berasal dari orang Ionia dan Sardia. Para
Pandai Besi berasal dari orang-orang Media dan Mesir. Orang-orang yang menempa perhiasan berasal dari Babilonia, dan orang-orang yang menghias dinding
berasal dari Media dan Mesir.
Itulah
bidang seni yang terdapat di lingkungan istana, yang sebelumnya tidak mendapat
perhatian. Bahan-bahan dan pekerja seninya berasal dari semua wilayah yang
berada dalam kekuasaan raja, oleh karena itu cita rasa, bentuk, dan motifnya
tercampur satu sama lain dalam suatu seni dan arsitektur yang bersifat selektik
(semilih dari berbagai daerah). Hal yang demikian mencerminkan pemahaman
kerajaan dan orang-orang Persia tentang bagaimana seharusnya kerajaan berperan.
Sekalipun begitu secara keseluruhan sepenuhnya bersifat Persia. Demikianlah dinasti Achaeminiyah
memperlihatkan toleransinya berkaitan dengan kebiasaan dan pemerintahan lokal.
Orang-orang Persia dapat mengontrol kebijakan umum dan administrasi kerajaan,
dengan demikian toleransi mereka dalam bidang seni menjadikan semuanya bersifat
Persia. Di Pasargadae, ibu kota pemerintahan Cyrus the Great dab Cambyses di
tanah air orang-orang Peris, yaitu Fars, dan di Persepolis, tetangga kota yang
didirikan oleh Darius the Great dan kemudian dipakai oleh para penerusnya,
dapat ditelusuri asal usul konstruksi, hiasan, dan relif-relif patung, tetapi
konsepsi, perencanaan, dan hasil akhir dengan jelas bersifat Persia.
Demikian
juga berkaitan dengan seni dekoratifnya, memperlihatkan seni Persia yang luar
biasa: barang-barang pecah belah yang berasal dari logam, perhiasan,
persenjataan, dan barang tembikar. Dapat dikatakan bahwa orang-orang Persia
memang perlu mendatangkan para pekerja seni, karena mereka sendiri pada
dasarnya merupakan orang-orang barbar yang tidak memiliki cita rasa seni dan
perlu segera menciptakan seni istana untuk mengimbangi kebangkitan politik
mereka yang tiba-tiba. Akan tetapi, penggalian terhadap situs-situs periode
protosejarah tidak memperlihatkan hal yang demikian. Cyrus boleh jadi merupakan
pemimpin suku-suku Persia yang memiliki cita rasa seni tinggi sekalipun tidak
sebaik peradaban Babilonia dan Mesir. Ketika ia membangun Pasargadae, ia
memperlihatkan cita rasa seninya yang bercorak Iran. Di antara contoh yang
dipandang memadai adalah penataan ruang aula dan hiasan emas. Adanya ruang aula di istana sekarang ini
adalah berasal dari tradisi arsitektural Iran. Seni hiasan emas dinasti
Achaeminiyah, merupakan tradisi yang berasal dari masa Abad Besi II pada masa
pemerintahan Hasanlu dan Marlik. Kota Persepolis, yang didirikan oleh Darius
dan Xerxes, merupakan salah satu warisan artistik terbesar dari dunia kuno.
Kota ini dibangun dengan perencanaan yang sangat matang, kaya dengan ornamen
arsitektur yang luar biasa, dan relif- relif dekorasi yang mengagumkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peradaban
kerajaan Achaeminiyah sangat luar biasa setelah beberapa kali terjadi
pergantian raja yang menjadikan kerajaan ini menjadi kerajaan besar sebelum
kemudian diruntuhkan oleh kerajaan lain. Raja pertamanya yaitu Cyrus II the
Great dan setelah ia meninggal, tahta kemudian dilimpahkan kepada anaknya Cambyses, kemudian Darius I, Xerxes I, dan yang terakhir yaitu Xerxes I. dari kepemimpinan raja pertama sampai yang terakhir
banyak terjadi gejolak dalam kerajaan. Selain itu, kerajaan Achaeminiyah juga
memiliki kebudayaan sulit untuk dibedakan dengan kebudayaan Persia, hal ini
terjadi karena kebudayaan yang berkembang dalam dinasti Achaeminiyah merupakan
kebudayaan kolektif dari berbagai penduduk yang ada di wilayah kekuasaan
kerajaan. Diantaranya yaitu dari Bahasa yang terdapat dan dipakai di wilayah
kerajaan yaitu bahasa Elam, yang telah menjadi bahasa para pemimpin Persia. Bahasa
Elam juga merupakan bahasa kerajaan dan bahasa yang paling banyak dipakai dalam
birokrasi kerajaan. Awal dari pengaruh bahasa Elam di Persia sudah dapat dilihat
dalam prasasti kerajaan Persia Kuno pada akhir dinasti Achaeminiyah. Dari
organisasi sosial yang berkembang pada periode Achaeminiyah terbagi ke dalam
tiga kelas: ksatria atau aristokrat, pendeta, dan petani atau penggembala.
Persilangan pembagian ini merupakan struktur kesukuan yang didasarkan pada
keturunan patrilineal. Gelar raja-raja, yang dipakai oleh para shah Iran pada
abad ke-20, menggambarkan adanya otoritas kekuasaan yang terpusat. Struktur
piramid ini memperlihatkan adanya otoritas tertinggi yang bersifat individual
yang dimiliki seorang raja pengorganisasian dan pengawasan masyarakat tentu
saja dapat berubah sesuai dengan tuntutan para penguasa dan mengalami banyak
modifikasi karena meningkatnya kehidupan sosial dan pemikiran politik
penduduknya. Meskipun demikian, bahkan pada masa-masa yang lebih kemudian,
terdapat bukti-bukti bahwa konsep asli bangsa Iran yang terkait dengan keluarga
dan organisasi sosial masih menghargai dan mempertahankan ideal-ideal kebudyaan
Persia. Dari agama, Tuhan dari raja-raja dinasti Achaeminiyah adalah Ahura
Mazda Yang Agung. Xerxes dan para penggantinya masih menyebut nama dewa-dewa
yang lain, tetapi Ahura Mazda ditempatkan sebagai dewa tertinggi. Dalam
prasastinya, Darius hanya menyebut tuhan Ahura Mazda. Bukti yang signifikan
adalah terlihat dalam sifat-sifat Darius. Sifat-sifat yang melekat padanya
sangat sesuai dengan sifat moral Zoroaster, dan dalam beberapa contoh, sangat
cocok dengan ajaran ideologi Zoroaster. Serta dari segi seni bangsa
Achaeminiyah, seperti halnya agama, merupakan campuran dari banyak unsure, oleh
karena itu cita rasa, bentuk, dan motifnya tercampur satu sama lain dalam suatu
seni dan arsitektur yang bersifat selektik (semilih dari berbagai daerah).
Demikianlah dinasti Achaeminiyah memperlihatkan toleransinya berkaitan dengan
kebiasaan dan pemerintahan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Sudrajat, M. Ag. Ajat, Miftahuddin, M. Hum.. Pengantar
Sejarah Asia Barat. Universitas Negeri Yogyakarta. 2008
www.google.com