Terima Kasih

Jumat, 20 September 2013

PERADABAN DAN KEBUDAYAAN ACHAEMINIYAH



SEJARAH ASIA BARAT DAYA
“PERADABAN DAN KEBUDAYAAN ACHAEMINIYAH

OLEH : KELOMPOK VI
MU’ARIF NUR RIZQI        :           A1A2 11 004
LA ODE AHMAD RIFAI   :           A1A2 11 081
                        AMAN MAKRUF                :           A1A2 11 083
                        JUMARDI                             :           A1A2 11 086
                        MUH. ARIF                          :           A1A2 11 087
                        ANDI AKMAL                     :           A1A2 11 088
                        SYAHRUDIN                       :           A1A2 11 090
                        HASRI                                   :           A1A2 11 091
                        SUSANTI                              :           A1A2 11 092
                        SITTI MINARSI A.             :           A1A2 11 094
                        IAN MARTA F.                    :           A1A2 11 0

PROGRAM STUDI PEND. SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2013




KATA PENGATAR


Assalamualaikum Wr. Wb.
           
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena hanya dengan RahmatNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Kebudayaan dan peradaban Achaeminiyah
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan guna melengkapi atau memperbaiki makalah ini selanjutnya.
Dan penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua serta pembaca pada umumnya.

Wassalamu`alaikum Wr. Wb





DAFTAR ISI

Halaman Sampul …………………………………..…………………………..… i
Kata Pengatar ………………………………………………………………......... ii
Daftar Isi ……………………………………………………………………….... iii
BAB I Pendahuluan
A.     Latar Belakang……............……………………………………………………... 1
B.     Rumusan Masalah…………............…………………………………………….. 1
C.     Tujuan……………………………….............………………………………........ 1
BAB II Pembahasan
A.     Peradaban Kerajaan Achaeminiyah
1.      Cambyses ……………………….…………………………………... 2
2.      Darius I ………………………….………………………………….. 3
3.      Xerxes I ………………………….…………………………………. 4
4.      Artaxerxes I sampai Darius ……….………………………………... 5
B.     Kebudayaan Kerajaan Achaeminiyah
a.       Segi Bahasa ……………………. ………………………………...... 8
b.      Segi Organisasi Sosial……...……………………………………...... 9
c.       Segi Agama ………………………………………………………… 9
d.      Segi Seni ………………………………………………………….... 11

BAB III Penutup
A.     Kesimpulan……………………………………...........………………………… 13
Daftar Pustaka ……………………………………………………………......... 14





BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Istilah kawasan Asia Barat Daya ditujukan kepada negara-negara yang secara geografis terletak di jazirah Arab. Istilah tersebut sebenarnya hanya cocok bila digunakan dari kawasan Asia Tenggara, oleh karena itu bangsa Eropa biasa menyebut kawasan ini sebagai Timur Tengah (The Middle East) karena letaknya disebelah Timur Eropa yang lebih jauh dari Turki atau Timur Dekat (The Near East) dan lebih dekat dari Cina atau Timur Jauh (The Far East). Adapun Negara-negara yang termasuk dikawasan ini meliputi Negara-negara yang mayoritas berkebudayaan Arab dan atau para penghuni gurun pasir, diantaranya : Saudia Arabia, Yordania (Jordan), Israel, Palestina, Lebanon, Syria (Suriah), Egypt (Mesir), Cyprus (Siprus), Turkey (Turki), Iraq (Irak), Kwait, Bahrain, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab (Arab Emirates Union), Yemen (Yaman), dan Iran.
Kerajaan Achaeminiyah merupakan kerajaan yang memiliki keunikan yang kemudian menjadikannya susah untuk dibedakan kebudayaanya dengan kebudayaan Persia pada umumnya. Kerajaan Achaeminiyah menggabungkan kebudayaan mereka dari berbagai daerah yang menjadi kekuasaan kerajaan untuk menciptakan kebudayaan baru yang sangat luar biasa.

B.   Rumusan Masalah
a.       Bagaimana peradaban kerajaan Achaeminiyah ?
b.      Bagaimana kebudayaan kerajaan Achaeminiyah ?

C.  Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan Makalah ini yaitu :
1.    Tujuan Umum
Menjadi bahan untuk melatih dan meningkatkan daya pikir dalam penulisan karya ilmiah.
2.    Tujuan Khusus
a.       Memberikan gambaran tentang peradaban dan kebudayaan Achaeminiyah.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Peradaban Kerajaan Achaeminiyah
1.    Cambyses
Pada saat kematian Cyrus II the Great, kerajaan dilimpahkan kepada anaknya, Cambyses II (memerintah tahun 529-522 SM). Telah terjadi beberapa kerusuhan dalam pemerintahan pada saat kematian Cyrus II. Cambyes II secara diam-diam telah membunuh saudaranya, Bardiya (Smerdis), untuk mempertahankan kedudukannya, sementara ia sedang memimpin penyerangan ke Mesir pada tahun 525 SM. Parao Ahmose II dari dinasti ke-26 berusaha menopang pertahanannya dengan menyewa tentara bayaran dari Yunani tetapi dikhianati. Cambyses II berhasil menyeberangi kerasnya Gurun Sinai, yang secara tradisional merupakan garis pertahanan Mesir pertama dan paling kuat. Pasukan Mesir berada di bawah komando Psamtik III, anak dan pengganti Ahmose II, untuk melakukan pertempuran di Pelusium. Tiga operasi penyerangan telah dilakukan oleh Cambyses II, tetapi semuanya dilaporkan mengalami kegagalan: satu pasukan menyerang Carthage, para pelaut Phoenicia, yang merupakan tulang punggung angkatan laut Persia, menolak untuk berlayar melawan koloni mereka sendiri; satu pasukan menyerang oasis Amon (padang pasir di sebelah barat Sungai Nil), yang menurut Herodotus, telah dikalahkan oleh badai pasir yang dahsyat; dan satu pasukan dipimpin oleh Cambyses II sendiri menyerang Nubia. Usaha yang terakhir ini memperoleh keberhasilan, tetapi pasukan tersebut telah mengalami penderitaan karena kurangnya persediaan. Setelah peristiwa itu, Mesir menempatkan pasukannya di tiga tempat yang strategis: Daphnane di bagian timur delta, Memphis, dan Elephantin. Di tempat-tempat tersebut tentara bayaran yang berasal dari orang-orang Yahudi menjadi pasukan inti. Pada tahun 522 SM, Cambyses memperoleh berita tentang pemberontakan di Iran yang dipimpin oleh Bardiya, saudara laki-lakinya. Beberapa provinsi dari kerajaan tersebut mengakui keberadaan penguasa baru. Bardiya telah menjanjikan kepada mereka yang mengakui kedudukannya dengan pembebasan pajak selama tiga tahun. Cambyes meninggal kemungkinan disebabkan infeksi menyusul kecelakaan berupa goresan pedang yang menimpa dirinya karena ingin cepat-cepat kembali ke istananya di Persia untuk membenahi pemerintahannya. Darius, seorang jenderal dalam pasukan Cambyses dan salah seorang pangeran dari keluarga Achaeminiyah, telah sampai di Persia, ia pun dengan pasukannya segera menumpas para pemberontak, yang kemudian membawa keberuntungan pada dirinya. Dalam sumber-sumber yang ada, keadaan Cambyses kurang menguntungkan, sebagian berasal dari para informan Mesir kepada Herodotus dan sebagian lagi karena motif-motif para propaganda Darius I. Cambyses dilaporkan telah memerintah Mesir dengan kasar dan telah menodai upacara dan tempat suci mereka. Penyerangan militernya keluar Mesir dilaporkan mengalami kegagalan. Ia dituduh telah melakukan pembunuhan dalam menghadapi pemberontakan yang terjadi dalam lingkungan keluarganya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dia telah gila. 
2.    Darius I
Darius I, dipanggil the Great, menceritakan secara rinci tentang penggulingan Bardiya palsu dan tahun-tahun pertama kekuasannya, dalam inskripsi kerajaannya yang terkenal, yang tertulis pada permukaan batu yang terdapat di kaki Bukit Bisotun, beberapa mil sebelah timur kota Kermanshah sekarang. Sejumlah ahli sejarah menilai bahwa cerita Darius lebih merupakan sebuah propaganda dan membantah bahwa Bardiya bukanlah seorang penipu. Menurut Darius I, enam pemimpin bangsawan Achaeminiyah telah membantu melakukan pembunuhan terhadap sang penipu dan secara bersama-sama mereka menyatakan Darius sebagai pewaris Cambyses yang sah. Darius adalah salah seorang dari anggota keluarga kerajaan Achaeminiyah. Buyutnya adalah Ariaramnes, anak Teispes, yang berkuasa di Persia bersama-sama dengan saudaranya Cyrus I. Anak Ariaramnes, Arsames, dan cucu laki-lakinya, Hystaspes (ayah Darius I), tidak menjadi raja di Persia, karena kekuasaan kerajaan disatukan ditempatkan di tangan Cambyses I melalui Cyaxares. Akan tetapi Hystaspes merupakan seorang pangeran yang penting dan menjadi gubernur Persis. Darius sendiri mewarisi sifat-sifat Cyrus the Great, seorang penguasa yang memiliki kepribadian yang kuat dan dinamis. Antara tahun 522-521 SM telah dilakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk memadamkan pemberontakan yang dikaitkan dengan klaim Bardiya bahwa dialah yang berhak naik taha dan menggantikan Darius. Hampir semua provinsi dalam kerajaan terlibat konflik, termasuk Persia, terutama sekali, Media. Kebijakan yang dikeluarkan ketika itu adalah memberikan pengampunan atau hukuman kepada setiap pemimpin pemberontak, disertai dengan dilakukannya koordinasi dan pembagian kekuasaan. Melalui kebijakan itu, terciptalah suasana yang damai dalam kerajaan, dan kekuasaan Darius I tidak dipersoalkan lagi. Selanjutnya, ia mencurahkan perhati- annya untuk mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan keturunannya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, bagaimanapun juga tidak menghalangi usaha Darius untuk menjalankan kebijakan ekspansionis. Penyerangan ke wilayah timur diteruskan lagi sehingga wilayahnya semakin bertambah sampai ke bagian utara anak benua India. Ekspansi ke wilayah barat dimulai pada tahun 516 SM dengan menyerang Hellepont, dan berhasil menguasai pantai barat dan utara Laut Hitam. Tujuan strategis dibalik penyerangan ini adalah untuk mengganggu dan apabila mungkin adalah untuk menghentkan perdagangan bangsa Yunani di wilayah Laut Hitam, yaitu mensuplai biji padi-padian ke Yunani. Darius I untuk pertama kali melakukan penyerangan ke Eropa dan berhasil mencapai wilayah bagian utara Sungai Danube. Ia kemudian mendirikan pangkalan yang dapat menyeberang ke Hellespont. Sebagai respon terhadap kemajuan tersebut atau tepatnya karena alasan-alasan internal, kota-kota Yunani Ionia di pantai barat Asia Kecil melakukan perlawanan terhadap penguasa Persia pada tahu 500 SM. Persia terkejut dengan respon tersebut, dan perlawanan pertama ini ternyata berhasil. Orang-orang Ionia mendapatkan bantuan dari orang-orang Athena dan pada tahun 498 mereka melakukan serangan ofensif yang lain. Di satu sisi Darius berusaha melakukan negosiasi, sementara di sisi yang lain ia telah melakukan persiapan untuk melakukan serangan balik. Akan tetapi, usaha- usaha yang dilakukan militer Persia hanya berhasil sebagian, dan orang-orang Ionia bisa beristirahat sementara antara tahun 496-495 SM. Serangan ofensif yang berhasil dilakukan militer Persi terjadi pada tahun 494 SM. Armada Yunani berhasil menghalau Miletus, dan pasukan Persia secara sistematis mulai berkurang karena terjadinya pemberontakan kota-kota. Kira-kira pada tahun 492 Mardonius, menantu laki-laki Darius, menjadi komisaris khusus untuk kota Ionia. Ia menekan para tiran lokal dan mengembalikan pemerintahan yang demokratis kepada beberapa kota. Pada masa itu luka-luka yang disebabkan karena pemberontakan telah dapat diperbaiki, dan sejak tahun 481 Xerxes dapat menarik pasukannya dari wilayah ini.  Pada tahun 492 SM Mardonius juga berhasil menguasai Thrace dan Macedonia, keberhasilan pertama dalam penyerangan terhadap orang-orang Scythia dan wilayah-wilayah yang hilang selama pemberontakan orang-orang Ionia. Keberhasilan tersebut mengiringi invasi Persia ke Yunani yang telah menyebabkan kekalahan Darius dalam Peperangan Marathon pada akhir musim semi tahun 490 SM. Darius terpaksa mendur dan untuk menghadapi Yunani tampaknya diperlukan usaha- usaha yang lebih konsentrasi dan menyeluruh. Ia mulai melakukan usaha persiapan untuk menalukan invasi ke Yunani dalam skala yang besar dan terkoordinasi. Tetapi rencana tersebut terhenti pada tahun 486 SM disebabkan dua peristiwa, yaitu terjadinya pemberontakan di Mesir, dan kematian Darius. 
3.    Xerxes I
Xerxes I (memerintah tahun 486 465 SM), adalah anak laki-laki tertua Darius dengan Ratu Atossa, dilahirkan setelah ayahnya naik tahta. Ia telah ditunjuk sebagai putera mahkota pada awal tahun 498 SM. Selama menjadi putera mahkota, ia menjabat sebagai gubernur di Babilonia. Raja baru ini dengan cepat berusaha memadamkan pemberontakan di Mesir dengan penyerangan tunggal yang dilakukan pada tahun 484 SM. Xerxes tidak mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh Cyrus dan Darius dalam memerintah wilayah-wilayah asing secara baik dengan mengambil sikap yang sesuai dengan tradisi lokal. Ia dengan kejam tidak mengindahkan bentuk-bentuk pemerintahan orang Mesir dan memaksakan keinginannya kepada para pemberontak dalam gaya Persia. Rencana untuk melakukan invasi ke Mesir yang sudah dimulai pada masa Darius semakin tertunda dengan adanya pemberontakan di Babilonia pada tahun 482 SM. Xerxes kembali memberikan perhatiannya ke arah barat, yaitu ke Yunani. Ia menghabiskan musim dingin di Sardis pada tahun 48-480 SM dan memimpin penyerangan baik melalui daratan maupun lautan ke Yunani. Yunani bagian utara jatuh pada tahun 480 SM, Yunani pada bulan Agustus tahun 480 SM bertahan di Thermopylae, dan pasukan Persian menyerbu Athena, menguasai dan membakar kota Acropolis. Tetapi di Peperangan Salamis pasukan Persia mengalami kemunduran, sehingga daya dorong untuk melakukan invasi menjadi mandul. Xerxes, sebagai seorang raja yang cukup lama jauh dari Asia dengan tanggung jawabnya yang luas bermaksud kembali, dan membiarkan Mardonius untuk melakukan operasi lebih jauh. Invasi berakhir dengan terjadinya Perang Plataea, dengan jatuhnya Thebes (yang merupakan benteng kekuatan pro-Persia), dan kekalahan angkatan laut Persia di Mycale pada tahun 479 SM.  Dari ketiga hal di atas, kekalahan Persia dalam Perang Plataea adalah yang paling menentukan, karena pada perang itulah Mardonius terbunuh. Isu yang beredar dalam perang tersebut mungkin masih meragukan, tetapi kurangnya kepemimpinan, organisasi yang kacau dan kurangnya kedisiplinan, menyebabkan pasukan Persia mengalami kehancuran. Pada waktu-waktu yang kemudian hal seperti ini tampaknya telah menjadi pola, karena Persia tidak pernah bisa mengatasi problem militernya. Pembentukan Liga Delia, yang menandai kebangkitan imperialisme Athena, telah menimbulkan kekacauan di pantai barat Asia Kecil, sekaligus mengakhiri ambisi militer Persia di Aegean mengiringi peristiwa yang terjadi di Plataea. Xerxes telah kehilangan semangatnya dan tenggelam dalam kesenangan hidup di Susa, Ecbatana, dan Persepolis. Tipu daya para harem atau selir-selir raja yang terus menerus melemahkan kekuatan dan vitalitas kerajaan Achaeminiyah menyebabkan terjadinya pembunuhan atas raja pada tahun 465 SM. 
4.    Artaxerxes I sampai Darius
Kematian Xerxes I merupakan titik balik dalam sejarah Achaeminiyah. Kekuatan dan kecakapan yang sesekali muncul pada para pengganti Xerxes tidak mampu menghindari kehancuran dan kerajaan tersebut secara perlahan menuju pada kematiannya. Usaha-usaha keras yang dilakukan para raja setelah kematian Xerxes adalah sebagai bentuk penghormatan kepada Cyrus, Cambyses, dan Darius yang telah membangun kerajaan.  Ada tiga orang raja yang bertahta setelah kematian Xerxes, yaitu Artaxerxes (memerintah 465-425 SM), Xerxes II (memerintah 425-424 SM), dan Darius II Ochus (memerintah 423-404 SM). Masing-masing dari ketiganya memiliki kele- mahan dalam kedudukannya sebagai individu maupun sebagai raja. Keberhasilan
yang diperoleh selama masa pemerintahan mereka terutama sekali disebabkan oleh kelemahan atau kekacauan-kekacauan yang dihadapi oleh musuh-musuh mereka.  Artaxerxes I menghadapi beberapa kali pemberontakan, yang paling penting di antaranya adalah pemberontakan Mesir yang terjadi pada tahun 459 SM. Sampai tahun 454, ia tidak berhasil sepenuhnya untuk menumpas pemberontakan itu. Suatu perjanjian damai yang menguntungkan, yaitu perjanjian damai Callia (Peace of Callia) debfab Athena di tandatangani pada tahun 448 SM. Dalam perjanjian itu Persia menyetujui untuk kelur dari Aegea, dan Athena menyetujui untuk menyerahkan Asia Kecil kepada kerajaan Achaeminiyah. Pada tahun 439 SM, Athena melanggar perjanjian dengan melakukan serangan ke Samos. Akibatnya, Persia kemabali mengerahkan pasukan militernya ke barat.  Xerxes II hanya memerintah selama 45 hari. Ia dibunuh ketika sedang dalam keadaan pingsan setelah minum-minuman keras oleh anak dari salah seorang gundik ayahnya. Pembunuh itu sendiri kemudian dibunuh oleh Darius II. Darius II selanjutnya naik sebagai penggantinya setelah terjadi intrik-intrik dalam istana. Pada masa perintahannya terjadi sejumlah pemberontakan, di antaranya adalah yang terjadi di Media. Peristiwa penting yang terjadi selama masa tiga pemerintahan di atas adalah meletusnya Perang Peloponnesia antara Sparta dan Athena. Keadaan tersebut telah dimanfaatkan dengan baik oleh para pemanah Persia terkenal. Koin-koin emas dinasti Achaeminiyah melukiskan bagaimana para pemanah itu melakukan pengintaian, dan telah memanfaatkan informasi yang mereka peroleh untuk membujuk ke dua negara Yunani tersebut. Pada mulanya orang-orang Persia mendorong orang-orang Athena untuk menyerang Sparta, dari usahanya ini disepakatilah perjanjian damai Callia. Kemudian, setelah terjadi melapetaka penyerangan Athena ke Sicilia pada tahun 413 SM, orang-orang Persia kini mendekati pihak Sparta. Dengan disepakatinya perjanjian Miletus pada tahun 412 SM, orang-orang Persia secara leluasa berhasil menguasai wilayah bagian barat Asia Kecil. Pasukan sparta akhirnya berhasil menghancurkan Athena pada tahun 404 SM.  Selain fakta bahwa orang-orang Persia telah memainkan dua sisi perlawanan terhadap masing-masing pihak, merekapun telah berkerja secara lebih baik.
Dua orang gubernur Persia di Asia Kecil terlibat di dalam tipu muslihat di atas, Tissaphernes dari Sardis dan Phanabazus dari Hellespontine Prygia. Kedua orang ini tampaknya telah memperoleh izin untuk melakukan intervensi ke dalam perang Yunani. Tetapi ketika Mesir melakukan pemberontakan pada tahun 405 SM, Persia tidak dapat berbuat banyak, dan sejak itu Mesir menjadi negara yang merdeka. Artaxerxes II naik tahta pada tahun 404 SM dan memerintah sampai tahun 359 SM. Peristiwa penting yang terjadi pada masa kekuasaannya yang panjang adalah peperangan dengan Sparta, yang berakhir dengan ditandatanginya perjanjian yang menguntungkan pihak Persia. Selain itu adalah pemberontakan yang terjadi di Mesir; pemberontakan Cyrus the Younger, saudara sang raja; dan pemberontakan yang dikenal dengan sebutan pemberontakan satrap (gubernur). Sparta, setelah kemenangannya atas Athena, membangun kerajaan kecil atas namanya sendiri dan segera terlibat peperangan dengan Persia. Persoalan utamanya adalah berkaitan dengan negara-negara kota Yunani di Asia Kecil. Ketika Sparta memprovokasi gubernur Persia di Anatolia untuk menyerang yang lainnya, orang- orang Persia mengirimkan emas ke Yunani dan membujuk mereka untuk melakukan pemberontakan kepada Sparta. Orang-orang Persia membangun kembali pasukannya dan menempatkan seorang adminral Athena yang cakap dan tangkas, Conon, sebagai komandannya.  Pertunjukan itu berlangsung dari tahun 400 sampai 387 SM, dan memaksa Sparta untuk terus bergerak maju. Athena yang sudah melakukan perbaikan, dengan dibantu oleh Persia, berhasil membangun kekuasaan yang seimbang di Yunani. Akhirnya Artaxerxes bisa maju setapak demi setapak dalam usahanya untuk menaklukkan Yunani dan memaksakan apa yang disebutnya Perdamaian Raja (King's Peace) antara tahun 387-386 SM. Sekali lagi Yunani terpaksa harus menghentikan klaimnya atas Asia Kecil dan sepakat untuk mempertahankan status quonya di Yunani saja. Cyrus the Younger, yang tertangkap dalam kasus usaha pembunuhan pada saat penobatan Artaxerxes, tetapi kemudian diberi pengampunan, menjadi komandan di salah satu propvinsi di Asia Kecil. Pada tahun 401 SM, ia melakukan pemberontakan lagi, dan dengan didukung oleh 10.000 tentara bayaran dari Yunani, mengerahkan pasukanya ke timur untuk merebut tahta kerajaan. Ia dapat dikalahkan dan terbunuh dalam Perang Cunaxa yang terjadi pada musim panas di Mesopotamia. Meskipun mengalami kekalahan, tentara bayaran yang berasal dari Yunani tidak serta merta bubar. Mereka tetap bersatu dan kemudian melakukan perjalanan yang terkenal, tercatat dalam Anabasis dari Xenophon, yaitu menuju arah utara dan menjadikan Laut Hitam sebagai tempat tinggalnya. Tampaknya tidak ada peristiwa lain pada akhir sejarah dinasti Achaeminiyah selain terjadinya kelemahan-kelemahan internal yang melanda kerajaan ini. Pada tahun 379 SM Artaxerxes mengumpulkan tentara bayaran dari Yunani untuk melakukan serangan ke Mesir. Serangan yang dilakukan terhadap dinasti ke-30 Mesir pada tahun 373 SM itu ternyata mengalami kegagalan. Dalam suasana galau karena kegagalan serangan ke Mesir, tiba-tiba muncul pemberontakan satrap, atau pemberontakan yang dilakukan oleh para gubernur provinsi. Sejumlah gubernur bangkit untuk melakukan perlawana terhadap pemerintah pusat. Aroandas (Orantes), gubernur Armenia, bahkan berani mencetak koin emas atas namanya sendiri sebagai bentuk tantangan terhadap raja Artaxerxes.  Rencana umum dari para pemberontak tampaknya adalah melakukan serangan secara serentak. Pemberontakan para satrap (gubernur), yang dipimpin raja Tachos dengan didukung oleh tentara bayaran dari Yunani, mengerahkan pasukan ke arah timur melalui Syria dengan Mesir sebagai targetnya. Serangan ke Mesir dibatalkan karena pemimpin pemberontakan di Mesir adalah saudara Tachos. Artaxerxes berusaha keras untuk menenangkan para satrap yang meninggalkan dirinya. Sejumlah satrap, termasuk Arondas, memperoleh pengampunan dan kembali menemati posnya sebagai gunernur.  Kesan umum yang bisa ditangkap dari pemberontakan itu lebih dari sekedar melawan otoritas pusat, tetapi para satrap ingin kembali ke provinsi masing-masing dan merampasnya atas nama Artaxerxes. Menurut para satrap bahwa mereka secara aktual memiliki otoritas dan kontrol yang lebih besar atas peristiwa yang terjadi di wilayah masing-masing dibanding Artaxerxes yang menguasai kerajannya. Persekongkolan lawan persekongkolan, intrik yang terjadi di antara para gundik raja, dan pembunuhan, telah mengantarkan Artaxerxes III naik tahta pada tahun 395 SM. Ia dengan cepat melakukan pembersihan terhadap semua anggota keluarga kerajaan yang diperkirakan menjadi penghalang atas kekuasaannya. Usaha baru yang dilakukan untuk menguasai Mesir dipukul mundur pada tahun 351 SM. Kemunduran ini terjadi kerena meletusnya pemberontakan di Sidon dan akhirnya semua wilayah Palestina dan Phoenisia.
Sebagian wilayah Cilicia juga melakukan pemberontakan, tetapi pemberon- takan tersebut dapat dihentikan pada tahun 345 SM. Suasana damai pun hanya berlangsung sebentar-sebentar.  Tentara bayaran dari Thebe, Argiv, demikian juga dari kota-kota Yunani di Asia Kecil, secara bersama-sama dikerahkan untuk menyerang Mesir. Serangan yang dilakukan pada tahun 343 SM dengan dipimpin langsung oleh Artaxerxes ternyata berhasil dengan sukses. Tetapi, dinasti lokal Mesir tersebut berhasil melarikan diri ke selatan, yaitu ke Nubia. Di tempat yang baru tersebut mereka mempertahankan pemerintahan yang merdeka. Pada saat bersamaan, Persia merasa salah karena menolak permintaan untuk membantu Athena dalam menghadapi kebangkitan kekuasaan Philip II dari Macedonia. Pada tahun 339 SM, pasukan Persia harus menghadapi tentara Macedonia di Thrace sendirian. Pada tahun-tahun berikutnya, dalam peperangan di Chaeronea, Philip II berhasil memperluas hegemoninya di semua wilayah Yunani. Ia pun berhasil menyatukan Yunani yang tahan terhadap emas Persia. Artaxerxes diracun oleh dokternya di tempat orang kasim Bagoas. Bagoas mengangkat anak Artaxerxes yang paling muda, Arses, sebagai raja (338-336 SM) dengan harapan dapat menjadi penguasa di belakang layar, tetapi Arses tidak dapat mengabulkan keingian Bagoas dengan mudah. Ia berusaha meracun Bagoas, tetapi yang terjadi sebaliknya, ia terbunuh dalam suatu tindakan balas dendam. Bagoas kemudian merekayasa pengangkatan Darius III sebagai pengganti Arses, yang menjadi gubernur di Armenia. Banyak di antara anggota keluarga istana yang terbunuh dalam intrik tersebut.  Darius III berhasil memadamkan pemberontakan yang dilakukan Khababash pada tahun 337-336 di Mesir. Tetapi awal dari ambang kehancuran dinasti Achaemi- niyah sudah tampak ketika pada tahun 334 SM mengalami kekalahan dalam Perang Granicus dengan Alexander the Great. Persepolis jatuh ke tangan Alexander pada bulan April 330 SM, dan Darius III yang merupakan keturunan Achaeminiyah terakhir terbunuh pada musim panas di tahun yang sama.  Kemenangan yang diraih oleh Alexander tidaklah diperoleh dengan cara mudah. Kekacauan yang terjadi menjelang kehancuran dinasti Achaeminiyah, seperti pemberontakan, pembunuhan, kelemahan para raja yang berada dalam perangkap para gundiknya, permainan untung-untungan, dan kebijakan-kebijakan yang keliru, tidak dapat diceritakan seluruhnya. Sumber-sumber, terutama Yunani, sering memojokan Persia dan cenderung melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi hanya dari satu sudut pandang saja. 

B.   Kebudayaan Kerajaan Achaeminiyah
Kebudayaan yang berkembang di bawah dinasti Achaeminiyah dalam realitasnya merupakan masyarakat dan kebudayaan kolektif dari berbagai penduduk yang ada di wilayah kerajaan. Dari mosaik seperti itu kadang-kadang sulit untuk memisah- misahkan mana yang merupakan Persia atau merupakan perkembangan dari periode Achaeminiyah, dan oleh karena itu merupakan sumbangan bangsa Iran awal terhadap masyarakat dan kebudayaan Timur Tengah secara umum. Berikut akan dijelaskan berbagai kebudayaan Achaeminiyah dari berbagai aspek kehidupan, baik dalam segi bahasa, organisasi social, agama, dan seni.
a.    Segi Bahasa
Bahasa yang terdapat dan dipakai di wilayah kerajaan tentu saja mengikuti keanekaragaman penduduknya. Orang-orang Persia, sejak semula menggunakan bahasa Persia Kuno, dialek orang Iran barat  daya (bahasa Median merupakan dialek Iran barat daya), dan merupakan masyarakat yang masih buta huruf. Bahasa mereka pertama kali ditulis ketika Darius memerintahkan adanya suatu skrip yang sesuai untuk mencatat bahwa ia mulai berkuasa di Bisotum.
Adanya fakta bahwa hanya sedikit orang saja yang bisa membaca ketika itu menjadi alasan mengapa Darius di Bisotum meminta agar prasasti-prasasti kerajaan ditulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Persia Kuno, Babilonia, dan Elam.  Bahasa Persia Kuno tidak pernah dijadikan bahasa tulis kerajaan. Bahasa Elam, yang ditulis di lembaran yang berbahan tanah liat, tampaknya telah menjadi bahasa para pemimpin Persia. Arsip-arsip yang berkaitan dokumen administratif dalam bahasa Elam ditemukan di Persepolis. Selain itu, bahasa Elam juga merupakan bahasa kerajaan dan bahasa yang paling banyak dipakai dalam birokrasi kerajaan. Awal dari pengaruh bahasa Elam di Persia sudah dapat dilihat dalam prasasti kerajaan Persia Kuno pada akhir dinasti Achaeminiyah.
b.    Segi Organisasi Sosial
Tidak banyak diketahui mengenai organisasi sosial yang berkembang pada periode Achaeminiyah. Secara umum, organisasi sosial ketika didasarkan pada cara-cara feudal, baik yang berkaitan dengan fungsi-fungsi ekonomi maupun sosial. Masyarakat tradisional Indo-Iran terbagi ke dalam tiga kelas: ksatria atau aristokrat, pendeta, dan petani atau penggembala. Persilangan pembagian ini merupakan struktur kesukuan yang didasarkan pada keturunan patrilineal. Gelar raja-raja, yang dipakai oleh para shah Iran pada abad ke-20, menggambarkan adanya otoritas kekuasaan yang terpusat. Struktur piramid ini memperlihatkan adanya otoritas tertinggi yang bersifat individual yang dimiliki seorang raja.
Secara tradisional, raja dipilih dari keluarga tertentu oleh kelas ksatria. Ia kemudian disucikan dan melekat padanya kharisma kerajaan. Pengorganisasian dan pengawasan masyarakat tentu saja dapat berubah sesuai dengan tuntutan para penguasa dan mengalami banyak modifikasi karena meningkatnya kehidupan sosial dan pemikiran politik penduduknya. Meskipun demikian, bahkan pada masa-masa yang lebih kemudian, terdapat bukti-bukti bahwa konsep asli bangsa Iran yang terkait dengan keluarga dan organisasi sosial masih menghargai dan mempertahankan ideal-ideal kebudyaan Persia.
c.    Segi Agama
Agama bangsa Iran pada priode pra-Achaeminiyah dan Achaeminiyah merupakan sedikit persoalan yang disepakati para sarjana. Ketika bangsa Iran pertama kali memasuki periode protosejarah, agama mereka bercorak politeistik yang mempercayai dan mempraktikkan corak keagamaan yang sama dengan kelompok-kelompok Indo-Iran dan Indo-Eropa. Para Dewa biasanya diasosiasikan dengan fenomena alam, dengan fungsi-fungsi sosial, militer, ekonomi, dan dengan konsep-konsep abstrak seperti keadilan dan kebenaran. Praktik-praktik keagamaannya meliputi pengorbanan hewan korban, penyembahan pada api, dan meminum juce tanaman haoma, sejenis minuman keras alami. Baru kira-kira pada tahun 600 SM, di bagian timur laut dataran tinggi Iran, muncul seorang nabi atau guru agama yang bernama Zoroaster (Zaathushtra).
Agama Zoroaster yang ia kembangkan lebih rumit dan kontroversial dibandingkan agama yang sudah ada sebelumnya. Tetapi ciri-ciri utama agamanya masih tetap ada. Ia merupakan nabi etik dari ranking tertinggi, yang menekankan perlunya kejujuran, senantiasa bicara benar, dan meninggalkan kebohongan.  Dalam ajarannya, kebohongan sering dipersonifikasikan dengan Druj, pemimpin kerajaan iblis. Melalui ajarannya, ia menghapus banyak dewa yang ada pada agama Indo-Iran sebelumnya. Tuhan yang disembah adalah Ahura Mazda, yang nampaknya merupakan ciptaan, baik nama dan sifat-sifatnya, Zoroaster.
Meskipun secara teknis ajarannya bersifat monoteistik, tetapi agama Zoroaster memandang dunia dalam pengertian dualistik, Ahura Mazda dan "Dusta", yang secara mendalam terlibat dalam perjuangan jiwa manusia. Zoroasster, seperti diperkirakan, berusaha untuk memperbaharui praktik-praktik dan kepercayaan keagamaan bangsa Iran sebelumnya. Ia pertama-tama menolak, tetapi kemudian ternyata mengizinkan adanya bentuk modifikasi dalam praktik pemujaan haoma, penyembahan api, dan menolak praktik pengorbanan binatang. Penyembahan terhadap api merupakan istilah yang salah, karena para pengikut Zoroaster tidak pernah menyembah api.
Istilah itu dipakai untuk menghormati api yang merupakan simbol kebenaran utama. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah para penganut Zoroaster dari dinasti Achaeminiyah atau setidaknya para pengikutnya memahami misi sang nabi? Kemungkinan Cyrus the Great, Darius I, Xerxes I dan para penggantinya, memahami ajaran sang nabi. Jawaban sederhana atas pertanyaan itu dapat diketahui karena Zoroaster sebagai agama telah mengalami perkembangan dan modifikasi seiring berjalannya waktu, yaitu dipengaruhi oleh kepercayaan dan praktik-praktik, serta oleh agama-agama penduduk Timur Tengah yang telah melakukan kontak dengan orang-orang Iran. Tuhan dari raja-raja dinasti Achaeminiyah adalah Ahura Mazda Yang Agung. Xerxes dan para penggantinya masih menyebut nama dewa-dewa yang lain, tetapi Ahura Mazda ditempatkan sebagai dewa tertinggi.
Dalam prasastinya, Darius hanya menyebut tuhan Ahura Mazda. Bukti yang signifikan adalah terlihat dalam sifat-sifat Darius. Sifat-sifat yang melekat padanya sangat sesuai dengan sifat moral Zoroaster, dan dalam beberapa contoh, sangat cocok dengan ajaran teologi Zoroaster. Selama masa pemerintahan Darius dan Xerxes, catatan-catatan arkeologis yang ditemukan memperlihatkan bahwa upacara-upacara keagamaan yang dilakukan ketika itu sesuai dengan perkembangan agama Zoroaster. Upacara haoma dipraktikkan di Persepolis, tetapi upacara pengorbanan binatang tidak dilakukan. Lebih dari itu, api menempati peran yang utama dalam agama orang-orang Achaeminiyah.
Selain kenyataan di atas, ada kemungkinan telah terjadi perselisihan antara Cambyses dan Darius di satu pihak dengan Bardiya, seorang pendeta bangsa Media, di pihak lain. Tampaknya terdapat adanya motivasi-motivasi keagamaan dan politik di balik penindasan Xerxes terhadap dewa (deva/daeva) yang disembah dan penghancuran tempat peribadatan mereka. Ada kemungkinan telah terjadi konflik di kalangan anggota keluarga istana, yang menjadi pengikut agama Zoroaster, para pendukung agama Zoroaster seperti dipraktikkan oleh orang-orang Iran lainnya, para penganut agama Iran kuno, dan para pengikut agama-agama asing, yang dalam pandangan ajaran Zoroaster patut dicela.  Adanya kompromi dan sinkretisme dengan demikian merupakan suatu gejala yang tidak dapat dihindari.
Meskipun kalender Zoroaster diadopsi sebagai kalender resmi kerajaan dalam pemerintahan Artaxerxes I; sejak masa Artaxerxes II, tuhan orang-orang kuno, yaitu dewa Mithra dan dewi Anahita (Anahiti) telah ditempatkan di sisi Ahura Mazda. Dengan demikian, dalam suatu pengertian, raja-raja dinasti Achaeminiyah adalah para pengikut Zoroaster, tetapi agama Zoroaster itu sendiri tidak lagi merupakan agama yang harus dilembagakan. Apakah agama yang dianut oleh orang-orang yang berada di luar lingkaran istana? Satu perkiraan bahwa peribadatan-peribadatan Iran kuno merupakan agama yang dipraktikkan secara umum. Magi, yang berasal dari para pendeta bangsa Media, kemungkinan lebih berpengaruh di masyarakat, demikian juga dengan kepercayaan dan praktik-praktik keagamaan yang berasal dari luar. 
d.    Segi Seni
Seni bangsa Achaeminiyah, seperti halnya agama, merupakan campuran dari banyak unsur. Untuk memberikan gambaran mengenai konstruksi istananya di Susa, dengan kebanggan yang dapat dibenarkan Darius mengatakan, kayu cedar (nama pohon yang ada di pegunungan Libanon) diambil dari sana, kayu yaka diambil dari Gandara dan Carmania, Emas diambil dari Sardis dan Bactria, Batu Permata lapis-lazuli diambil dari Sogdiana, Batu Pirus diambil dari Chorasmia, Perak dan Kayu Eboni diambil dari Mesir, Barang-barang Perhiasan diambil dari Ionia, Gading diambil dari Ethiopia, Sind, dan Arashosia, Pemotong Batu dan Para Penempa batu berasal dari orang Ionia dan Sardia. Para Pandai Besi berasal dari orang-orang Media dan Mesir. Orang-orang yang menempa perhiasan berasal dari Babilonia, dan orang-orang yang menghias dinding berasal dari Media dan Mesir.
Itulah bidang seni yang terdapat di lingkungan istana, yang sebelumnya tidak mendapat perhatian. Bahan-bahan dan pekerja seninya berasal dari semua wilayah yang berada dalam kekuasaan raja, oleh karena itu cita rasa, bentuk, dan motifnya tercampur satu sama lain dalam suatu seni dan arsitektur yang bersifat selektik (semilih dari berbagai daerah). Hal yang demikian mencerminkan pemahaman kerajaan dan orang-orang Persia tentang bagaimana seharusnya kerajaan berperan. Sekalipun begitu secara keseluruhan sepenuhnya bersifat Persia.  Demikianlah dinasti Achaeminiyah memperlihatkan toleransinya berkaitan dengan kebiasaan dan pemerintahan lokal. Orang-orang Persia dapat mengontrol kebijakan umum dan administrasi kerajaan, dengan demikian toleransi mereka dalam bidang seni menjadikan semuanya bersifat Persia. Di Pasargadae, ibu kota pemerintahan Cyrus the Great dab Cambyses di tanah air orang-orang Peris, yaitu Fars, dan di Persepolis, tetangga kota yang didirikan oleh Darius the Great dan kemudian dipakai oleh para penerusnya, dapat ditelusuri asal usul konstruksi, hiasan, dan relif-relif patung, tetapi konsepsi, perencanaan, dan hasil akhir dengan jelas bersifat Persia.
Demikian juga berkaitan dengan seni dekoratifnya, memperlihatkan seni Persia yang luar biasa: barang-barang pecah belah yang berasal dari logam, perhiasan, persenjataan, dan barang tembikar. Dapat dikatakan bahwa orang-orang Persia memang perlu mendatangkan para pekerja seni, karena mereka sendiri pada dasarnya merupakan orang-orang barbar yang tidak memiliki cita rasa seni dan perlu segera menciptakan seni istana untuk mengimbangi kebangkitan politik mereka yang tiba-tiba. Akan tetapi, penggalian terhadap situs-situs periode protosejarah tidak memperlihatkan hal yang demikian. Cyrus boleh jadi merupakan pemimpin suku-suku Persia yang memiliki cita rasa seni tinggi sekalipun tidak sebaik peradaban Babilonia dan Mesir. Ketika ia membangun Pasargadae, ia memperlihatkan cita rasa seninya yang bercorak Iran. Di antara contoh yang dipandang memadai adalah penataan ruang aula dan hiasan emas.  Adanya ruang aula di istana sekarang ini adalah berasal dari tradisi arsitektural Iran. Seni hiasan emas dinasti Achaeminiyah, merupakan tradisi yang berasal dari masa Abad Besi II pada masa pemerintahan Hasanlu dan Marlik. Kota Persepolis, yang didirikan oleh Darius dan Xerxes, merupakan salah satu warisan artistik terbesar dari dunia kuno. Kota ini dibangun dengan perencanaan yang sangat matang, kaya dengan ornamen arsitektur yang luar biasa, dan relif- relif dekorasi yang mengagumkan.




BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Peradaban kerajaan Achaeminiyah sangat luar biasa setelah beberapa kali terjadi pergantian raja yang menjadikan kerajaan ini menjadi kerajaan besar sebelum kemudian diruntuhkan oleh kerajaan lain. Raja pertamanya yaitu Cyrus II the Great dan setelah ia meninggal, tahta kemudian dilimpahkan kepada anaknya Cambyses, kemudian Darius I, Xerxes I, dan yang terakhir yaitu Xerxes I. dari kepemimpinan raja pertama sampai yang terakhir banyak terjadi gejolak dalam kerajaan. Selain itu, kerajaan Achaeminiyah juga memiliki kebudayaan sulit untuk dibedakan dengan kebudayaan Persia, hal ini terjadi karena kebudayaan yang berkembang dalam dinasti Achaeminiyah merupakan kebudayaan kolektif dari berbagai penduduk yang ada di wilayah kekuasaan kerajaan. Diantaranya yaitu dari Bahasa yang terdapat dan dipakai di wilayah kerajaan yaitu bahasa Elam, yang telah menjadi bahasa para pemimpin Persia. Bahasa Elam juga merupakan bahasa kerajaan dan bahasa yang paling banyak dipakai dalam birokrasi kerajaan. Awal dari pengaruh bahasa Elam di Persia sudah dapat dilihat dalam prasasti kerajaan Persia Kuno pada akhir dinasti Achaeminiyah. Dari organisasi sosial yang berkembang pada periode Achaeminiyah terbagi ke dalam tiga kelas: ksatria atau aristokrat, pendeta, dan petani atau penggembala. Persilangan pembagian ini merupakan struktur kesukuan yang didasarkan pada keturunan patrilineal. Gelar raja-raja, yang dipakai oleh para shah Iran pada abad ke-20, menggambarkan adanya otoritas kekuasaan yang terpusat. Struktur piramid ini memperlihatkan adanya otoritas tertinggi yang bersifat individual yang dimiliki seorang raja pengorganisasian dan pengawasan masyarakat tentu saja dapat berubah sesuai dengan tuntutan para penguasa dan mengalami banyak modifikasi karena meningkatnya kehidupan sosial dan pemikiran politik penduduknya. Meskipun demikian, bahkan pada masa-masa yang lebih kemudian, terdapat bukti-bukti bahwa konsep asli bangsa Iran yang terkait dengan keluarga dan organisasi sosial masih menghargai dan mempertahankan ideal-ideal kebudyaan Persia. Dari agama, Tuhan dari raja-raja dinasti Achaeminiyah adalah Ahura Mazda Yang Agung. Xerxes dan para penggantinya masih menyebut nama dewa-dewa yang lain, tetapi Ahura Mazda ditempatkan sebagai dewa tertinggi. Dalam prasastinya, Darius hanya menyebut tuhan Ahura Mazda. Bukti yang signifikan adalah terlihat dalam sifat-sifat Darius. Sifat-sifat yang melekat padanya sangat sesuai dengan sifat moral Zoroaster, dan dalam beberapa contoh, sangat cocok dengan ajaran ideologi Zoroaster. Serta dari segi seni bangsa Achaeminiyah, seperti halnya agama, merupakan campuran dari banyak unsure, oleh karena itu cita rasa, bentuk, dan motifnya tercampur satu sama lain dalam suatu seni dan arsitektur yang bersifat selektik (semilih dari berbagai daerah). Demikianlah dinasti Achaeminiyah memperlihatkan toleransinya berkaitan dengan kebiasaan dan pemerintahan lokal.




DAFTAR PUSTAKA


Sudrajat, M. Ag. Ajat, Miftahuddin, M. Hum.. Pengantar Sejarah Asia Barat. Universitas Negeri Yogyakarta. 2008

www.google.com